0 Comments

JAKARTA, incahospital.co.id – Dalam bahasa pembawa berita, studio kesehatan kerap menyebut satu istilah yang terdengar rumit namun dampaknya sangat nyata di ruang IGD, yaitu pheochromocytoma. Saat hormon adrenalin dan noradrenalin meluap tak terkendali, tekanan darah melonjak, jantung berdebar cepat, keringat mengucur tanpa alasan jelas. Di seberang layar, masyarakat sering kali mengira ini sekadar stres. Padahal, di balik gejala yang datang dan pergi, ada tumor kecil di kelenjar adrenal yang bekerja seperti saklar yang bandel. Diputar ke posisi off, ia kembali on, dan itu membuat dokter kerap tertantang untuk menangkap momen saat gejala memuncak.

Anekdot singkat yang kerap terdengar di klinik endokrin: seorang profesional muda datang dengan keluhan nyeri kepala berdenyut, palpitasi, dan tekanan darah menembus angka yang bikin ngeri. Saat tiba di UGD, parameter vital normal kembali, seakan tidak terjadi apa-apa. Ini bukan kisah tunggal. Pola episodik seperti ini membuat pheochromocytoma menjadi teka-teki yang menarik sekaligus serius, karena jika tidak tertangani, krisis hipertensi dapat mengancam nyawa.

Memahami Pheochromocytoma

Pheochromocytoma

Pheochromocytoma adalah tumor yang biasanya berasal dari medula adrenal, jaringan di bagian tengah kelenjar adrenal yang memproduksi katekolamin, terutama adrenalin dan noradrenalin. Sebagian kasus muncul di luar kelenjar adrenal dan disebut paraganglioma. Keduanya termasuk dalam kelompok tumor neuroendokrin yang mampu melepaskan hormon secara berlebihan. Dampaknya terasa pada sistem kardiovaskular, metabolisme, hingga sistem saraf otonom.

Karakter khas tumor ini adalah lonjakan hormon yang terjadi episodik. Karena itulah ada pasien yang tampak baik pada pagi hari, lalu mengalami serangan gejala hebat pada siang, kemudian kembali stabil menjelang malam. Siklus yang tidak selalu dapat diprediksi ini menuntut kewaspadaan, baik bagi tenaga kesehatan maupun keluarga pasien.

Gejala Khas yang Perlu Diwaspadai

Gejala paling sering adalah triad klasik berupa nyeri kepala berdenyut, keringat berlebih, dan palpitasi. Namun, daftar tanda tidak berhenti di situ. Tekanan darah dapat melonjak ekstrem, muncul pucat, tremor halus, gelisah, mual, nyeri perut, sampai penurunan berat badan yang tidak direncanakan. Bagi sebagian orang, keluhan muncul setelah pemicu tertentu, seperti aktivitas fisik intens, perubahan posisi, konsumsi makanan tinggi tiramin seperti daging olahan dan keju tertentu, atau penggunaan obat yang memicu pelepasan katekolamin.

Yang membuatnya menantang, hipertensi pada pheochromocytoma tidak selalu menetap. Ada yang mengalami hipertensi paroksismal, ada pula yang selalu tinggi tetapi sesekali meledak. Beberapa pasien datang tanpa tekanan darah sangat tinggi, melainkan keluhan pusing episodik dan rasa gelisah yang sulit dijelaskan. Namun, bila dicermati, pola gejala yang berulang disertai respons tubuh yang dramatik terhadap stres kecil perlu menyalakan lampu peringatan.

Faktor Risiko dan Kaitan Genetik Pheochromocytoma

Sebagian kasus pheochromocytoma terkait sindrom genetik, misalnya mutasi pada gen RET, VHL, SDHB, SDHD, NF1, dan beberapa gen lain yang berperan dalam jalur seluler pengaturan energi dan pertumbuhan. Ketika ada riwayat keluarga dengan tumor neuroendokrin, paraganglioma, atau kanker tertentu pada usia muda, dokter endokrin biasanya menyarankan konseling genetik. Meski demikian, banyak kasus muncul sporadis tanpa riwayat keluarga. Usia kejadian bervariasi, tetapi kerap terdeteksi pada rentang dewasa muda hingga paruh baya.

Kaitan genetik tidak hanya relevan untuk mengetahui risiko, namun juga memandu strategi pemantauan jangka panjang. Misalnya, varian tertentu memiliki kecenderungan muncul multifokal atau bilateral di kedua kelenjar adrenal. Informasi ini memengaruhi pilihan operasi, rencana tindak lanjut, hingga diskusi risiko kekambuhan.

Cara Diagnosis yang Sistematis

Diagnosis pheochromocytoma memerlukan kombinasi pendekatan biokimia dan pencitraan. Langkah pertama umumnya adalah pemeriksaan kadar metanefrin bebas plasma atau metanefrin pada urin 24 jam, yang mencerminkan metabolit katekolamin. Hasil yang meningkat signifikan menguatkan kecurigaan. Ada kalanya dokter mengulang tes pada kondisi yang lebih terkontrol, seperti setelah istirahat cukup, menghindari kafein, dan menghentikan obat tertentu sementara waktu atas arahan medis, agar hasil tidak bias.

Setelah bukti biokimia kuat, pencitraan menjadi kunci untuk menemukan lokasi tumor. Modalitas yang lazim meliputi CT scan atau MRI abdomen untuk menilai kelenjar adrenal. Bila kecurigaan paraganglioma atau penyakit multifokal, pemeriksaan fungsional seperti MIBG scintigraphy atau PET khusus tumor neuroendokrin dapat dipertimbangkan. Kombinasi temuan laboratorium dan radiologi membentuk peta yang jelas, di mana tumor berada, berapa ukurannya, apakah ada sebar, dan bagaimana hubungannya dengan struktur sekitar.

Tak jarang, proses ini memerlukan koordinasi lintas disiplin. Dokter penyakit dalam konsultan endokrin, ahli radiologi, ahli bedah endokrin, ahli anestesi, hingga perawat kasus bertemu dalam satu meja. Tujuannya sederhana, membangun rencana terapi yang aman, efektif, dan meminimalkan risiko krisis selama tindakan.

Penanganan yang Menjaga Keselamatan Pasien Pheochromocytoma

Andalan utama terapi pheochromocytoma adalah operasi untuk mengangkat tumor. Namun, keberhasilan operasi bergantung pada persiapan praoperatif yang baik. Prinsipnya, pasien perlu stabil terlebih dahulu. Dokter biasanya meresepkan penghambat alfa untuk melebarkan pembuluh darah, menurunkan tekanan, dan mencegah krisis saat tumor disentuh. Setelah respons memadai, baru penghambat beta ditambahkan jika palpitasi masih dominan. Urutannya penting, penghambat alfa harus duluan agar tidak memperburuk lonjakan tekanan darah.

Persiapan lain meliputi hidrasi yang cukup dan, pada beberapa kasus, pengaturan asupan garam untuk menjaga volume intravaskular. Di ruang operasi, tim anestesi memantau tekanan darah detik demi detik, karena manipulasi tumor dapat memicu pelepasan hormon mendadak. Setelah tumor terangkat, tekanan darah kerap turun cepat, sehingga pemantauan pascaoperasi menjadi krusial untuk mencegah hipotensi dan hipoglikemia.

Pada sebagian kecil kasus, tumor bersifat ganas atau tidak dapat diangkat seluruhnya. Strategi pengobatan lain seperti terapi radionuklida MIBG, PRRT pada tumor tertentu, atau terapi target dan kemoterapi dipertimbangkan sesuai profil tumor dan ketersediaan fasilitas. Pendekatan ini bersifat individual, menyesuaikan risiko, respons klinis, serta tujuan kualitas hidup.

Efek, Risiko, dan Hal yang Perlu Diantisipasi

Setiap terapi membawa potensi efek samping. Penghambat alfa mungkin menyebabkan hipotensi ortostatik, pusing, atau rasa lelah di awal penggunaan. Penghambat beta dapat memicu bradikardia atau mempengaruhi kontrol glukosa. Pasca operasi, risiko meliputi perubahan tajam pada tekanan darah, fluktuasi gula darah, hingga defisit hormon jika jaringan adrenal yang tersisa tidak cukup. Edukasi tentang tanda bahaya penting, misalnya sakit kepala berat tiba-tiba, nyeri dada, sesak napas, atau kelemahan ekstrem.

Untuk tumor yang berpotensi ganas, rencana jangka panjang mencakup pemantauan berkala kadar metanefrin dan pencitraan bila gejala muncul kembali. Beberapa varian genetik terkait risiko metastasis lebih tinggi, sehingga dokter mungkin menyarankan interval kontrol yang lebih rapat. Sejujurnya, proses ini melelahkan. Namun, pengalaman banyak pasien menunjukkan bahwa konsistensi kontrol memberi ketenangan dan kualitas hidup yang jauh lebih baik.

Gaya Hidup dan Upaya Pencegahan Kekambuhan Pheochromocytoma

Pencegahan primer sulit dibicarakan karena banyak kasus bersifat sporadis. Meski begitu, ada langkah yang membantu mengelola risiko gejala, terutama menjelang operasi atau pada pasien yang menunggu terapi lanjutan. Tidur cukup, pengelolaan stres dengan teknik pernapasan, menghindari stimulan seperti kafein berlebih, serta meminimalkan makanan dengan tiramin tinggi dapat membantu. Olahraga tetap penting, namun intensitasnya disesuaikan. Aktivitas aerobik ringan sampai sedang memberi manfaat pada kesehatan kardiovaskular tanpa memicu pelepasan katekolamin berlebihan.

Pada keluarga dengan riwayat genetik, pencegahan sekunder dalam bentuk skrining periodik memegang peranan. Edukasi keluarga mengenai gejala, kapan memeriksakan diri, dan ke mana harus rujuk, membuat rencana ini realistis. Kejelasan jalur rujukan, dari dokter layanan primer ke pusat endokrin, menghindarkan keterlambatan yang tidak perlu.

Tips Praktis untuk Pasien dan Keluarga Pheochromocytoma

Mencatat pola gejala membantu dokter memetakan pemicu. Waktu munculnya sakit kepala, makanan sebelumnya, aktivitas, hingga penggunaan obat, semua berguna. Menyimpan kartu medis kecil yang mencantumkan diagnosis dan obat yang sedang digunakan juga bijak, terutama bila harus berkunjung ke fasilitas kesehatan lain. Saat kontrol, membawa tensimeter rumah dan catatan tekanan darah harian memperkaya diskusi klinis.

Bagi keluarga, memahami bahwa perilaku pasien mungkin berubah saat serangan, misalnya lebih sensitif atau gelisah, mencegah konflik yang tidak perlu. Komunikasi yang empatik membuat dukungan terasa nyata. Ini hal kecil, namun dampaknya melampaui angka di monitor. Ya, kadang ada hari yang tidak ideal, dan itu wajar.

Kapan Harus Mencari Pertolongan Medis

Waspadai gejala seperti nyeri kepala berat mendadak, tekanan darah sangat tinggi, palpitasi disertai nyeri dada atau sesak. Kondisi ini memerlukan evaluasi segera. Bagi yang sudah didiagnosis, perubahan pola gejala setelah penghentian obat atau setelah tindakan perlu dibicarakan dengan dokter. Jangan menunggu sampai gejala mereda sendiri, karena krisis dapat muncul cepat dan sulit diprediksi.

Perspektif Multidisiplin yang Membuat Perbedaan

Keberhasilan penanganan pheochromocytoma jarang berdiri di atas satu profesi. Peran ahli radiologi menentukan peta anatomi, ahli bedah endokrin memastikan teknik operasi aman, ahli anestesi menjaga stabilitas hemodinamik, dan perawat klinis membantu transisi pulang dengan edukasi yang rinci. Model perawatan terintegrasi terbukti mengurangi komplikasi dan lama rawat. Di beberapa rumah sakit rujukan, jalur klinik terpadu mempersingkat waktu dari diagnosis ke tindakan, tanpa mengorbankan keselamatan.

Pertanyaan yang Sering Muncul

Apakah semua pheochromocytoma berbahaya. Banyak yang jinak secara histologis, tetapi efek hormonalnya bisa berat. Apakah bisa kambuh setelah operasi. Ada kemungkinan, terutama bila terkait genetik atau tumor multifokal. Karena itu kontrol berkala tetap diperlukan. Apakah semua pasien memerlukan tes genetik. Keputusan ini dipersonalisasi, mempertimbangkan usia, lokasi tumor, riwayat keluarga, dan rekomendasi dokter.

Bagaimana dengan kehamilan. Pheochromocytoma pada kehamilan adalah kondisi berisiko tinggi yang memerlukan tim multidisiplin sejak awal. Diagnosis bisa tersamarkan oleh perubahan fisiologis kehamilan. Penanganan harus direncanakan cermat agar keselamatan ibu dan janin terjaga. Ini contoh situasi yang menunjukkan betapa pentingnya koordinasi lintas disiplin.

Ringkasan Klinis yang Mudah Diingat

Pheochromocytoma adalah tumor penghasil katekolamin yang memicu gejala episodik seperti nyeri kepala, palpitasi, dan keringat berlebih, sering disertai hipertensi paroksismal. Diagnosis mengandalkan pemeriksaan metanefrin, dilanjut pencitraan untuk lokalisasi. Terapi utama adalah operasi setelah persiapan penghambat alfa, kemudian beta jika perlu. Pemantauan pascaoperasi dan, pada kasus tertentu, terapi lanjutan seperti MIBG atau modalitas lain, disesuaikan profil tumor. Dukungan keluarga, pengelolaan stres, serta kontrol rutin meningkatkan kualitas hidup jangka panjang.

Penutup yang Membumi

Di meja redaksi kesehatan, pheochromocytoma sering disebut penyakit yang mengajarkan kesabaran. Gejalanya dinamis, perlu timing yang pas untuk menangkap bukti biokimia dan citra. Namun ketika rencana ditata rapi, hasilnya bisa sangat baik, tekanan darah kembali tenang, jantung berdetak dengan ritme yang membuat hari terasa normal. Tidak semua hal dapat diprediksi, ya, dan itu membuat perjalanan ini kadang berliku. Meski begitu, dengan informasi yang tepat, tim yang kompak, serta dukungan yang hangat, perjalanan pemulihan terasa jauh lebih masuk akal.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan

Baca juga artikel lainnya: Acne Vulgaris: Mengenal Jerawat dan Cara Mengatasinya

Author

Related Posts