0 Comments

Jakarta, incahospital.co.id – Bayangkan ini: Anda datang ke rumah sakit untuk operasi kecil, hanya untuk pulang dengan infeksi baru yang tidak Anda bawa sebelumnya. Inilah yang disebut infeksi nosokomial—atau secara teknis dikenal sebagai Healthcare-Associated Infections (HAIs).

Infeksi ini bukan hal sepele. Menurut laporan dari WHO, sekitar 10 dari 100 pasien di negara berkembang terkena infeksi selama perawatan medis. Di Indonesia, data ini sulit dilacak secara nasional, tetapi beberapa rumah sakit rujukan besar mengakui bahwa prevalensinya cukup mengkhawatirkan.

Infeksi nosokomial bisa berupa pneumonia, infeksi saluran kemih akibat kateter, infeksi luka operasi, atau bahkan sepsis akibat penggunaan alat medis invasif seperti ventilator.

Infeksi ini biasanya muncul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit, dan ironisnya, banyak di antaranya bisa dicegah. Tapi kenapa masih sering terjadi?

Penyebab yang Tak Terlihat – Kombinasi Kompleks dari Sistem dan Kebiasaan

Infeksi Nosokomial

“Infeksi ini seperti jebakan tak kasat mata,” ujar Dr. Rina, seorang ahli mikrobiologi klinis di rumah sakit pemerintah. Ia menyebut, banyak kasus terjadi bukan karena kuman yang super, tapi karena protokol kebersihan yang longgar.

Sumber infeksi bisa berasal dari tangan petugas medis, alat medis yang tidak steril, udara di ruang operasi, bahkan dari pasien itu sendiri. Salah satu contoh nyata adalah cerita tentang Budi (nama disamarkan), seorang pasien bedah tulang di rumah sakit swasta di Jakarta. Setelah operasi yang sukses, ia mengalami demam tinggi dan pembengkakan di luka operasinya. Tes menunjukkan infeksi Staphylococcus aureus resisten antibiotik.

Rupanya, meski prosedur operasi dilakukan dengan standar tinggi, ada kelengahan dalam penggantian perban. Tim medis kurang disiplin mengganti sarung tangan dan tidak mencuci tangan setelah menangani pasien sebelumnya.

Kasus Budi bukan yang pertama, dan bisa terjadi di rumah sakit manapun.

Dampak Infeksi Nosokomial – Tidak Hanya Soal Kesehatan, Tapi Juga Biaya dan Psikologis

Mari kita bahas dampaknya. Infeksi nosokomial bukan cuma menambah masa rawat pasien, tetapi juga menambah beban biaya. Di Amerika Serikat saja, kerugian ekonomi akibat infeksi nosokomial mencapai miliaran dolar per tahun. Bayangkan kalau kita punya data serupa di Indonesia—pastinya menakutkan.

Pasien harus dirawat lebih lama, mungkin perlu pengobatan antibiotik yang lebih kuat (dan mahal), dan dalam beberapa kasus bisa berujung pada kematian. Di satu rumah sakit rujukan di Jawa Tengah, seorang pasien ICU yang menggunakan ventilator terkena Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) dan harus dirawat tiga minggu lebih lama dari yang diperkirakan.

Dampaknya tak berhenti di situ. Infeksi nosokomial juga meninggalkan trauma bagi pasien dan keluarga. Rasa tidak percaya pada sistem rumah sakit bisa timbul. Bahkan, ada pasien yang memilih berobat ke luar negeri hanya karena khawatir terkena infeksi seperti ini di dalam negeri.

Upaya Pencegahan – Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati, Tapi Apakah Cukup?

Beberapa rumah sakit di Indonesia sudah menerapkan program Infection Control Committee (PPI) yang cukup ketat. Mereka rutin mengaudit kebersihan tangan, mensterilkan alat medis, dan memberi pelatihan berkala kepada tenaga medis. Namun, seperti biasa, tantangan terbesarnya adalah konsistensi.

Kita semua tahu betapa padatnya jadwal dokter dan perawat. Kadang, cuci tangan pun terasa seperti kemewahan saat menangani 20 pasien sekaligus. Tapi justru di situ letak krusialnya: kebersihan dan kepatuhan terhadap prosedur steril adalah garis pertahanan pertama.

Program seperti 5 Moments of Hand Hygiene dari WHO sebenarnya sudah dikenal luas, tapi penerapannya belum merata. Di beberapa RS daerah, keterbatasan fasilitas dan SDM menjadi kendala. Ada pula isu tentang alat pelindung diri (APD) yang tak selalu tersedia dalam jumlah cukup.

Solusinya? Pendidikan berkelanjutan, audit internal yang ketat, dan sistem reward and punishment yang adil untuk tenaga kesehatan.

Peran Pasien dan Keluarga – Jangan Pasif, Jadilah Garda Terdepan untuk Keselamatan Diri

Siapa bilang pasien tidak bisa mencegah infeksi nosokomial? Justru dengan edukasi yang tepat, pasien dan keluarganya bisa jadi mitra penting dalam menjaga kebersihan lingkungan perawatan.

Contohnya, keluarga pasien bisa mengingatkan tenaga medis untuk mencuci tangan (dengan sopan tentunya), memastikan alat yang digunakan steril, atau bahkan mencatat gejala-gejala mencurigakan yang muncul.

Kampanye seperti “Pasien Pintar” dari Kementerian Kesehatan sempat digaungkan, tapi masih butuh gaung yang lebih besar. Di era media sosial seperti sekarang, edukasi bisa dilakukan dengan lebih interaktif—melalui konten video edukatif, podcast kesehatan, hingga infografis Instagramable.

Ingat, infeksi nosokomial adalah risiko sistemik, tapi solusi tidak bisa satu arah. Butuh sinergi antara institusi, tenaga medis, dan pasien.

Penutup: Saatnya Menghapus Cap “Wajar” dari Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial bukan harga yang wajar dari perawatan medis. Ia adalah sinyal bahwa masih ada celah yang harus ditambal. Bahwa sterilitas dan kehati-hatian bukan sekadar formalitas, tapi kunci dari layanan kesehatan yang aman dan bermartabat.

Kita butuh rumah sakit yang bukan hanya canggih, tapi juga bersih dan disiplin. Kita butuh tenaga medis yang tak hanya pintar, tapi juga konsisten. Dan kita juga butuh pasien yang teredukasi dan berani bersuara.

Karena pada akhirnya, mencegah infeksi nosokomial bukan cuma urusan rumah sakit—tapi urusan kita semua.

Baca Juga Artikel dari: Ventilator Medis: Alat Vital Penyelamat Nyawa Modern

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan

Author

Related Posts