0 Comments

Jakarta, incahospital.co.id – Dulu, bicara soal kesehatan mental terasa seperti membuka rahasia gelap keluarga. Sesuatu yang disimpan rapat-rapat, tak boleh diumbar, apalagi dibahas di warung kopi. Tapi kini, perlahan tapi pasti, semuanya berubah.

Di era digital ini, tekanan tak hanya datang dari pekerjaan atau sekolah. Notifikasi tanpa henti, ekspektasi sosial media, dan tuntutan untuk selalu “baik-baik saja” justru jadi pemicu utama stres. Dunia semakin cepat, tapi pikiran manusia tetap butuh ruang bernapas.

Sebuah survei dari Kementerian Kesehatan pada 2024 menunjukkan peningkatan gangguan kesehatan mental sebesar 27% dibanding lima tahun sebelumnya. Gangguan kecemasan, depresi, hingga burnout menjadi keluhan terbanyak, terutama di usia 18–35 tahun. Angka yang tinggi—dan jujur saja, menakutkan.

Tapi mari kita tarik napas sejenak.

Kesehatan mental bukan hanya tentang depresi atau gangguan psikotik berat. Ia tentang bagaimana kita mengelola stres, menjalani hubungan, menerima diri sendiri, dan menjalankan aktivitas harian dengan stabil. Saat kita mudah marah tanpa sebab, menangis di malam hari, atau merasa hampa tanpa tahu kenapa—itu pun bagian dari spektrum kesehatan mental.

Dan sayangnya, banyak dari kita yang belum menyadari bahwa rasa lelah berkepanjangan bukan hanya soal fisik, tapi jiwa yang kelelahan.

Kenali Gejala Kesehatan Mental yang Sering Diabaikan

Kesehatan Mental

Sering kali, tubuh kita lebih jujur dari pikiran. Ia mengirim sinyal—halus tapi konsisten—yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Tapi karena tak terlihat seperti luka terbuka, kita menganggapnya sepele. Padahal, bisa jadi itu tanda awal gangguan mental.

Berikut beberapa gejala umum kesehatan mental yang sering terlewat:

1. Perubahan Pola Tidur

Tidur terlalu sedikit, terlalu banyak, atau sering terbangun di tengah malam bisa jadi sinyal awal stres berlebih atau gangguan kecemasan.

2. Mood Swing yang Tak Jelas Penyebabnya

Hari ini senang, besok murung, lusa marah, lalu minggu depan datar. Jika perubahan suasana hati terjadi ekstrem tanpa alasan jelas, mungkin ada yang perlu diperiksa.

3. Kehilangan Minat

Hal-hal yang dulu menyenangkan—menonton film, berkumpul, atau membaca—tiba-tiba terasa hambar. Ini bisa menjadi indikasi depresi ringan hingga sedang.

4. Rasa Bersalah atau Tak Berguna

Kalimat seperti “Aku nggak berguna”, “Semua salahku”, atau “Aku beban” mulai muncul dalam pikiran, bahkan tanpa alasan logis.

5. Pikiran untuk Menyakiti Diri Sendiri

Ini gejala paling serius dan butuh perhatian segera. Pikiran menyakiti diri atau mengakhiri hidup bukan sekadar butuh semangat—itu sinyal SOS dari otak kita.

Jujur saja, kita semua pasti pernah mengalami satu atau dua dari gejala di atas. Tapi bila berlangsung terus-menerus dan mengganggu kehidupan sehari-hari, itulah saatnya untuk mencari bantuan profesional.

Seorang teman saya, sebut saja Andra, pernah absen kuliah tiga minggu hanya karena tidak bisa bangun dari tempat tidur. Katanya sih kecapekan. Tapi di balik itu, ia sedang berjuang dengan rasa cemas berlebih dan kehilangan arah hidup. Untungnya, ia mau terbuka, dan akhirnya menjalani konseling yang membantunya bangkit kembali.

Faktor Penyebab Gangguan Kesehatan Mental

Seperti halnya penyakit fisik, gangguan mental juga memiliki akar penyebab. Tapi tak seperti demam yang jelas karena infeksi, penyebab gangguan jiwa lebih kompleks dan bersifat akumulatif.

Berikut beberapa faktor umum yang memengaruhi kondisi mental seseorang:

1. Tekanan Sosial

Kita hidup di era “banding-bandingkan”. Di Instagram, semua orang terlihat bahagia dan sukses. Padahal kenyataannya… ya belum tentu. Rasa gagal karena tidak “sebisa mereka” sering jadi sumber tekanan batin.

2. Masalah Ekonomi

Tagihan yang menumpuk, gaji yang tidak cukup, hingga beban tanggungan keluarga bisa membuat seseorang merasa tercekik—secara harfiah dan emosional.

3. Pola Asuh Masa Kecil

Lingkungan masa kecil berpengaruh besar. Trauma, kekerasan, atau minimnya dukungan emosi dari orang tua bisa jadi luka batin yang terbawa hingga dewasa.

4. Perubahan Besar dalam Hidup

Kehilangan orang terdekat, perceraian, kehilangan pekerjaan, atau bahkan kelulusan bisa menjadi pemicu. Ya, bahkan kelulusan pun bisa membuat kita kehilangan arah, apalagi kalau belum tahu mau ke mana setelahnya.

5. Faktor Biologis dan Genetik

Beberapa orang memang lebih rentan terhadap gangguan mental karena faktor keturunan atau ketidakseimbangan kimia otak.

Yang perlu kita pahami adalah, tidak semua orang memiliki coping mechanism yang sama. Hal kecil bagi satu orang bisa jadi beban besar bagi orang lain. Maka, alih-alih menghakimi, lebih baik kita belajar mendengarkan dan memahami.

Cara Menjaga dan Meningkatkan Kesehatan Mental

Kesehatan mental bukan hanya soal menghindari gangguan, tapi tentang bagaimana kita memelihara kewarasan di tengah hidup yang terus berubah. Dan kabar baiknya: banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk menjaga kesehatan mental—tanpa harus mahal.

1. Bicara, Jangan Dipendam

Temukan orang yang kamu percaya—teman, keluarga, atau bahkan profesional. Curhat bisa jadi katarsis yang luar biasa.

2. Olahraga Teratur

Kedengarannya klise, tapi aktivitas fisik seperti jogging ringan, yoga, atau naik-turun tangga bisa meningkatkan hormon endorfin yang bikin kita lebih bahagia.

3. Jaga Pola Tidur dan Makan

Tidur cukup (7–8 jam), makan bergizi, dan menghindari kafein atau alkohol berlebih membantu menjaga kestabilan emosi.

4. Luangkan Waktu untuk Diri Sendiri

Me-time bukan egois. Itu kebutuhan. Membaca buku, mendengarkan musik, berkebun, atau sekadar duduk sambil minum teh bisa jadi ritual pemulihan jiwa.

5. Kurangi Paparan Negatif di Media Sosial

Mute, unfollow, atau rehat sejenak dari dunia maya bukan tindakan lemah. Itu bentuk perawatan diri.

6. Mencari Bantuan Profesional

Jika dirasa perlu, konsultasi dengan psikolog atau psikiater adalah langkah bijak. Sama seperti kamu ke dokter saat flu, kamu ke tenaga profesional saat hatimu sakit.

Pemerintah dan komunitas kini juga mulai aktif menyediakan layanan konseling gratis atau terjangkau. Beberapa platform bahkan menyediakan layanan konseling daring, yang bisa diakses tanpa harus ke luar rumah.

Menghapus Stigma, Membangun Kesadaran

Ini bagian yang paling sulit, jujur saja. Bukan karena tidak tahu, tapi karena masyarakat kita masih memandang mental illness sebagai hal yang memalukan, bahkan mengada-ada.

Seorang pekerja kantoran bisa mendapat simpati saat izin sakit karena flu, tapi dianggap lemah saat izin karena burnout. Padahal sama-sama tidak mampu bekerja optimal.

Mengubah stigma butuh edukasi terus-menerus. Peran media, institusi pendidikan, komunitas, dan tokoh publik sangat penting. Beberapa figur publik Indonesia seperti Maudy Ayunda dan Jerome Polin sudah mulai vokal bicara soal pentingnya kesehatan mental. Ini langkah awal yang sangat berarti.

Kita juga bisa mulai dari diri sendiri:

  • Tidak menyebut “gila” sebagai olok-olok.

  • Tidak memaksa teman untuk “tetap semangat” tanpa benar-benar memahami kondisinya.

  • Tidak menyederhanakan masalah dengan kalimat, “Ah itu mah karena kurang ibadah.”

Sebaliknya, yuk mulai berkata: “Kamu butuh didengarkan? Aku ada.” Kalimat sesederhana itu bisa menyelamatkan nyawa.

Penutup: Merawat Diri, Merawat Jiwa

Kesehatan mental bukan tren sesaat. Ia adalah fondasi kehidupan. Sebagus apapun karier, sepintar apapun otak, semua tak ada artinya kalau jiwamu remuk.

Setiap orang berhak merasa lelah. Setiap orang boleh tidak baik-baik saja. Tapi yang lebih penting adalah, setiap orang juga berhak untuk sembuh, untuk tumbuh, dan untuk mendapatkan bantuan.

Karena merawat kesehatan mental bukan tanda kelemahan. Itu tanda bahwa kamu cukup kuat untuk peduli pada dirimu sendiri.

Jadi kalau hari ini terasa berat, tak apa. Ambil napas. Pelan-pelan saja. Dan ingat, kamu tidak sendirian.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan

Baca Juga Artikel Dari: Lingkungan Sehat: Cara Simpel Biar Nggak Gampang Sakit

Kunjungi Website Resmi: papua78

Author

Related Posts