Jakarta, incahospital.co.id – “Badan aku pegal semua, ngilu kayak habis lari maraton… padahal cuma duduk dari pagi.”
Begitulah pengakuan Rika, seorang wanita 34 tahun yang akhirnya didiagnosis dengan Fibromyalgia Syndrome setelah bertahun-tahun keluhan fisiknya dianggap “halusinasi”.
Fibromyalgia adalah sindrom gangguan kronis yang ditandai dengan nyeri menyebar di seluruh tubuh, kelelahan ekstrem, gangguan tidur, dan masalah kognitif yang sering disebut fibro fog (kabut otak). Satu hal yang membuat kondisi ini sulit dikenali adalah kenyataan bahwa tidak ada luka fisik yang terlihat. Semua keluhan terasa nyata di tubuh pasien, namun tidak tercermin dalam hasil rontgen atau MRI.
Di Indonesia sendiri, kondisi ini belum banyak dikenal secara luas. Bahkan beberapa praktisi kesehatan masih menganggapnya sebagai bentuk psikosomatik atau gangguan psikologis. Padahal, penelitian medis dari WHO dan jurnal-jurnal kedokteran global sudah mengklasifikasikan Fibromyalgia sebagai gangguan neurologis fungsional.
Yang menarik, kebanyakan penderita fibromyalgia adalah wanita berusia 30 hingga 50 tahun. Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti, tapi faktor pemicu yang sering disebut antara lain stres berlebihan, cedera, infeksi tertentu, atau faktor genetik.
Dan justru karena gejalanya tak terlihat jelas, banyak pasien yang merasa frustrasi. “Dokter pertama bilang aku cuma kecapekan. Dokter kedua bilang aku depresi. Yang ketiga bilang aku terlalu sensitif. Baru yang keempat percaya bahwa aku memang sakit,” ungkap Rika.
Kisah Rika bukan kasus tunggal. Sindrom ini sudah menjadi isu global, namun masih berada di bawah radar di negara berkembang. Inilah saatnya untuk menyuarakan: fibromyalgia itu nyata, dan perlu dipahami.
Gejala Fibromyalgia yang Tak Boleh Dianggap Sepele
Salah satu tantangan utama dari Fibromyalgia Syndrome adalah banyaknya gejala yang tumpang tindih dengan penyakit lain. Itulah mengapa butuh waktu lama untuk diagnosis yang akurat.
Berikut adalah gejala khas Fibromyalgia yang sering dialami pasien:
1. Nyeri Menyeluruh
Pasien mengeluhkan rasa nyeri di seluruh tubuh, dari leher, bahu, punggung bawah, hingga lutut. Bukan rasa nyeri biasa, tapi nyeri yang konsisten dan menetap, seperti tertusuk-tusuk atau terbakar.
2. Kelelahan Ekstrem
Ini bukan kelelahan setelah olahraga. Ini adalah rasa letih yang tidak sembuh bahkan setelah tidur 10 jam. Pasien bisa merasa lemas seharian, seakan tubuh tak punya energi sedikit pun.
3. Gangguan Tidur
Tidur mereka dangkal, sering terbangun, dan tidak menyegarkan. Kadang disertai dengan sleep apnea atau restless leg syndrome.
4. Masalah Kognitif (Fibro Fog)
Penderita sering mengalami kesulitan konsentrasi, mudah lupa, atau merasa “blank” saat berbicara. Ini menjadi kendala besar dalam pekerjaan dan interaksi sosial.
5. Sensitivitas Berlebihan
Bau, cahaya, suara, hingga sentuhan ringan bisa terasa mengganggu atau menyakitkan. Bahkan perubahan suhu bisa menimbulkan ketidaknyamanan ekstrem.
Gejala-gejala ini sering disalahpahami sebagai kelelahan biasa, efek PMS, atau gejala gangguan mental. Beberapa dokter bahkan menuduh pasien hanya “mencari perhatian” atau “lemah mental”, padahal riset global membuktikan adanya gangguan pemrosesan rasa sakit di sistem saraf pusat.
Dalam konferensi medis internasional yang digelar di Eropa tahun lalu, para ahli neurologi menekankan bahwa penderita fibromyalgia benar-benar merasakan sakit fisik. Bedanya, sinyal nyeri di otak mereka bekerja secara berlebihan, meski tidak ada pemicu luka eksternal.
Proses Diagnosis yang Panjang dan Melelahkan
Tidak ada tes darah atau pemindaian yang bisa langsung menyatakan seseorang menderita Fibromyalgia. Diagnosisnya bersifat exclusion, yaitu dengan mengeliminasi penyakit lain terlebih dahulu.
Biasanya, pasien fibromyalgia menjalani tes-tes berikut:
-
Pemeriksaan reumatik untuk menyingkirkan lupus atau rheumatoid arthritis.
-
Tes tiroid, karena hipotiroid bisa menimbulkan gejala serupa.
-
MRI atau CT scan untuk melihat adanya kerusakan saraf.
-
Pemeriksaan psikologis untuk menilai apakah ada gangguan depresi klinis.
Setelah semua penyakit itu dikesampingkan, barulah gejala fibromyalgia dipetakan dengan kriteria klinis tertentu.
Salah satu kriteria yang digunakan adalah panduan dari American College of Rheumatology (ACR), yang menilai:
-
Sebaran Nyeri di 18 Titik Tender
Ini adalah titik-titik nyeri khas, seperti di belakang kepala, atas bahu, siku, punggung bawah, dan sisi pinggul. -
Skor Kelelahan dan Gangguan Tidur
Diukur melalui kuesioner khusus yang menilai kualitas hidup pasien dalam beberapa bulan terakhir.
Anehnya, tidak semua pasien memiliki titik tender yang sama, dan itulah kenapa dokter harus benar-benar mendalami riwayat dan keluhan pasien.
Di Indonesia, fasilitas diagnosis fibromyalgia belum tersebar merata. Sebagian besar dilakukan oleh dokter spesialis reumatologi, dan butuh rujukan dari faskes pertama. Beberapa pasien bahkan harus pergi ke rumah sakit di kota besar demi mendapatkan kepastian diagnosis.
Penanganan Fibromyalgia – Kombinasi Medis dan Gaya Hidup
Hingga saat ini, belum ada obat yang benar-benar menyembuhkan Fibromyalgia. Tapi kabar baiknya, gejala bisa dikelola dengan kombinasi strategi yang tepat.
1. Farmakoterapi (Obat-obatan)
Dokter biasanya meresepkan obat untuk meredakan nyeri dan memperbaiki kualitas tidur, seperti:
-
Antidepresan ringan (duloxetine, amitriptyline)
-
Obat antinyeri saraf (pregabalin)
-
Relaksan otot
-
Obat tidur ringan
Namun semua itu bukan solusi jangka panjang. Penggunaan harus diawasi karena efek sampingnya bisa cukup berat.
2. Terapi Kognitif Perilaku (CBT)
CBT membantu pasien mengelola stres, pikiran negatif, dan mengembangkan pola pikir yang lebih adaptif terhadap penyakit kronis.
3. Olahraga Ringan
Meski terdengar kontradiktif, olahraga ringan seperti jalan kaki, yoga, atau berenang terbukti meningkatkan endorfin dan mengurangi rasa sakit.
4. Diet Seimbang
Menghindari makanan tinggi gula, kafein berlebihan, dan olahan berat bisa membantu mengurangi peradangan ringan dalam tubuh.
5. Manajemen Stres
Latihan pernapasan, meditasi, atau sekadar hobi santai terbukti membantu. Penderita fibromyalgia punya ambang stres yang rendah, jadi manajemen emosi jadi kunci penting.
Contoh nyata datang dari Bapak Hendro, seorang guru SMP di Semarang yang telah hidup dengan fibromyalgia selama 5 tahun. “Saya belajar meditasi lewat video YouTube. Sekarang, tidur saya jauh lebih nyenyak, dan rasa nyerinya berkurang 30–40 persen,” katanya bangga.
Harapan, Dukungan, dan Masa Depan Penanganan Fibromyalgia
Fibromyalgia Syndrome bukan vonis mati. Dengan penanganan yang tepat, pasien bisa kembali beraktivitas dan memiliki kualitas hidup yang baik. Namun, dukungan lingkungan sekitar sangat penting.
Keluarga dan rekan kerja perlu diedukasi bahwa fibromyalgia bukan ‘alasan untuk malas’, melainkan kondisi medis nyata yang butuh empati. Bahkan, peran komunitas juga krusial. Di Jakarta dan Surabaya, kini mulai terbentuk kelompok pendukung pasien fibromyalgia yang rutin mengadakan pertemuan, diskusi online, hingga kelas yoga bersama.
Lebih jauh, dunia medis kini juga terus meneliti jalur pengobatan baru, seperti terapi neuromodulasi, teknologi biofeedback, dan penggunaan cannabinoid sebagai pereda nyeri kronis.
Di beberapa negara maju, fibromyalgia sudah masuk dalam daftar penyakit kronis yang mendapatkan perlindungan asuransi dan bantuan sosial. Harapannya, Indonesia juga bisa mengambil langkah serupa, terutama karena angka penderita terus meningkat seiring tekanan hidup masyarakat modern.
Dan satu hal lagi: edukasi harus dimulai sejak dini. Kurikulum kesehatan di sekolah dan kampus bisa mulai memperkenalkan jenis-jenis penyakit kronis non-infeksi seperti fibromyalgia. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih siap, lebih peka, dan lebih suportif terhadap sesama.
Penutup: Mendengar Mereka yang Tak Tampak Sakitnya
Fibromyalgia Syndrome adalah contoh nyata bahwa tidak semua penyakit terlihat dari luar. Tubuh bisa tampak sehat, tetapi nyeri yang dirasakan bisa melumpuhkan batin dan pikiran.
Menjadi penderita fibromyalgia butuh kekuatan luar biasa: untuk bangun setiap pagi, melawan rasa sakit yang terus membayangi, dan tetap tersenyum meski dunia kadang tidak percaya bahwa kamu memang sedang kesakitan.
Sebagai masyarakat, tugas kita adalah memberi ruang, pemahaman, dan empati. Dan bagi para pejuang fibromyalgia di luar sana—kalian tidak sendirian.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan
Baca Juga Artikel Dari: Infeksi Paru: Waspadai Gejala dan Cara Mengatasinya