Jakarta, incahospital.co.id – Sebagian besar dari kita mungkin mengenal penyakit ginjal dari istilah umum seperti gagal ginjal atau batu ginjal. Tapi ada satu kondisi yang sering luput dari perhatian—Syndrome Nephrotic. Nama ini terdengar teknis, bahkan mungkin terasa asing, namun dampaknya bisa sangat besar pada kualitas hidup penderitanya.
Syndrome Nephrotic adalah kondisi medis di mana ginjal bocor, dan protein dalam darah keluar melalui urin dalam jumlah yang sangat banyak. Ini bukan sekadar masalah buang air kecil—ini adalah pertanda bahwa sistem penyaring ginjal, yang dikenal sebagai glomerulus, sedang rusak atau terganggu.
Ciri khasnya?
-
Kaki dan wajah bengkak (edema)
-
Urin berbusa
-
Berat badan meningkat drastis dalam waktu singkat
-
Kelelahan berkepanjangan
-
Tekanan darah kadang melonjak tinggi
Seorang pasien bernama Rina (bukan nama asli), perempuan usia 27 tahun, sempat mengira bengkaknya hanya karena kelelahan atau kebanyakan konsumsi garam. Tapi ketika pagi hari wajahnya terasa penuh dan kakinya susah masuk ke sepatu, ia memeriksakan diri ke dokter. Hasil tes urin menunjukkan kehilangan protein masif—lebih dari 3,5 gram per hari. Itu sudah masuk kategori Syndrome Nephrotic.
Kondisi ini bisa menyerang siapa saja—anak-anak, remaja, dewasa muda, bahkan lansia. Di Indonesia, kasus Syndrome Nephrotic pada anak cukup sering ditemukan, terutama pada rentang usia 2–6 tahun. Tapi pada dewasa, penyakit ini bisa lebih kompleks karena sering berkaitan dengan penyakit autoimun, infeksi kronis, atau komplikasi sistemik lainnya.
Penyebab yang Beragam, Dari Autoimun Sampai Efek Samping Obat
Untuk memahami mengapa Syndrome Nephrotic terjadi, kita harus menyelami fungsi ginjal terlebih dahulu. Ginjal berperan menyaring limbah dan zat berlebih dari darah, termasuk kelebihan air, elektrolit, dan limbah nitrogen. Dalam proses penyaringan ini, protein seharusnya tetap tertahan di dalam darah karena ukurannya yang besar.
Tapi pada penderita Syndrome Nephrotic, filter ginjal bocor. Protein pun ikut hilang melalui urin. Ketika kadar albumin dalam darah rendah, cairan yang seharusnya tertahan di pembuluh darah justru merembes ke jaringan tubuh, menyebabkan pembengkakan.
Penyebabnya bisa dibagi dua:
1. Primer (langsung dari ginjal):
-
Minimal Change Disease (MCD): umum pada anak-anak
-
Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS): kerusakan sebagian glomerulus
-
Membranous Nephropathy: sering terjadi pada dewasa usia 40 tahun ke atas
2. Sekunder (dari penyakit lain):
-
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
-
Diabetes Melitus
-
Hepatitis B atau C kronik
-
Infeksi HIV
-
Efek samping obat-obatan, seperti NSAID dan antibiotik tertentu
Di Indonesia, menurut laporan dari beberapa rumah sakit rujukan nasional, penderita Syndrome Nephrotic sering berkaitan dengan komplikasi diabetes atau lupus.
Seorang pasien pria bernama Yudha, 35 tahun, bercerita bahwa ia mengalami pembengkakan kaki sebelah kanan, yang awalnya dikira hanya keseleo. Setelah serangkaian tes darah dan urin, ia divonis FSGS yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Ia baru tahu bahwa efek autoimun bisa menyerang ginjal dengan begitu halus dan tanpa gejala jelas sebelumnya.
Gejala Klinis yang Harus Diwaspadai—Jangan Tunggu Parah
Salah satu masalah utama dari Syndrome Nephrotic adalah gejalanya yang sering tidak langsung dikenali. Banyak orang mengabaikan gejala ringan seperti kaki membengkak, wajah sembap, atau rasa lelah yang terus-menerus.
Padahal, tubuh sedang memberi sinyal bahwa protein dalam darah sudah berkurang drastis, dan kerja ginjal mulai terganggu.
Berikut adalah gejala umum yang sering muncul:
-
Edema (pembengkakan): Terutama di wajah saat pagi hari, dan di kaki saat sore hari
-
Urin berbusa: Tanda kehilangan protein dalam jumlah besar
-
Penurunan nafsu makan: Karena penumpukan racun dalam tubuh
-
Hipertensi: Karena keseimbangan cairan terganggu
-
Infeksi berulang: Karena sistem imun ikut terganggu akibat hilangnya protein
Dalam kasus berat, bisa terjadi trombosis vena dalam (DVT) karena darah menjadi kental akibat hilangnya protein pengatur pembekuan. Ada juga risiko hiperkolesterolemia, karena hati mencoba mengimbangi hilangnya protein dengan memproduksi lebih banyak lemak.
Seorang dokter spesialis penyakit dalam di RSUD Tangerang menjelaskan, “Masalah utama pada pasien adalah keterlambatan diagnosis. Banyak datang saat sudah sesak napas karena cairan masuk ke rongga paru.”
Karena itu, deteksi dini menjadi kunci. Pemeriksaan rutin untuk tekanan darah, kadar albumin, dan tes urin sangat dianjurkan, terutama bagi penderita diabetes, lupus, atau memiliki riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
Pilihan Terapi—Dari Steroid, Diet Ketat, Hingga Transplantasi
Setelah diagnosis ditegakkan, pengobatan Syndrome Nephrotic tergantung pada penyebabnya. Namun secara umum, pendekatannya melibatkan:
1. Obat-obatan:
-
Kortikosteroid (prednison): Terutama untuk MCD pada anak
-
Imunosupresan lain seperti cyclosporine atau tacrolimus
-
Obat tekanan darah (ACE inhibitor/ARB): Untuk mengurangi tekanan dalam glomerulus
-
Statin: Jika kolesterol tinggi
-
Diuretik: Untuk mengurangi bengkak
Tapi perlu digarisbawahi, penggunaan steroid harus diawasi ketat. Efek samping seperti penambahan berat badan, moon face, hingga gangguan mood bisa terjadi.
2. Manajemen Gizi:
-
Diet rendah garam dan protein sedang
-
Pengawasan cairan harian
-
Batasi makanan tinggi kolesterol dan lemak jenuh
Gizi adalah bagian tak terpisahkan dari pengobatan. Konsultasi dengan ahli gizi klinis bisa sangat membantu dalam menentukan menu harian yang tetap bergizi tanpa membebani ginjal.
3. Prosedur lanjut (jika kerusakan parah):
-
Hemodialisis (cuci darah)
-
Transplantasi ginjal
Meski transplantasi hanya menjadi opsi terakhir, beberapa pasien dengan FSGS berat bisa mengalami kerusakan ginjal progresif. Sayangnya, akses terhadap transplantasi di Indonesia masih terbatas dan penuh tantangan administratif maupun finansial.
Hidup Berdampingan dengan Syndrome Nephrotic—Kisah Adaptasi dan Harapan
Mengidap penyakit kronis seperti Syndrome Nephrotic bukanlah akhir dari segalanya. Banyak pasien yang berhasil beradaptasi dan menjalani hidup produktif, asalkan mereka mampu memahami tubuh sendiri dan mengikuti terapi dengan konsisten.
Cerita Arlin, seorang content creator asal Semarang yang didiagnosis MCD sejak remaja, bisa jadi inspirasi. “Saya sempat frustasi karena harus rutin kontrol dan makan obat. Tapi akhirnya saya berdamai dan belajar banyak tentang tubuh sendiri,” ujarnya dalam salah satu sesi live Instagram edukasi kesehatan.
Ia kini aktif membagikan informasi soal manajemen gaya hidup, dari memilih makanan sehat, cara mengelola stres, hingga pentingnya tidur cukup untuk menjaga imunitas.
Peran komunitas juga penting. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah mulai muncul komunitas penderita ginjal kronik yang menjadi wadah saling dukung. Bahkan ada grup WhatsApp yang secara rutin mengadakan webinar edukatif bersama dokter spesialis nefrologi.
Secara mental dan emosional, memiliki dukungan sosial bisa mempercepat pemulihan dan menjaga motivasi pasien. Karena itu, pendekatan biopsikososial sangat penting diterapkan, bukan hanya menyoal angka laboratorium.
Dengan perawatan yang tepat dan penyesuaian gaya hidup, banyak pasien mampu mengontrol Syndrome Nephrotic dan tetap hidup normal.
Penutup:
Syndrome Nephrotic mungkin bukan penyakit yang familiar bagi banyak orang, tapi dampaknya bisa sangat besar bagi penderitanya. Dengan pemahaman yang tepat, edukasi berkelanjutan, dan pengobatan yang menyeluruh, kondisi ini bisa dikendalikan.
Sebagai masyarakat, kita punya peran dalam meningkatkan kesadaran dan menghapus stigma terhadap penyakit kronis. Karena di balik setiap pembengkakan dan hasil lab yang mengkhawatirkan, selalu ada manusia yang ingin didengar dan dimengerti.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan
Baca Juga Artikel Dari: Suplemen Herbal: Pilihan Alami untuk Kesehatan Optimal
Kunjungi Website Resmi: bosjoko