0 Comments

Jakarta, incahospital.co.id – Di balik langit-langit mulut dan hidung, tersembunyi satu ruang kecil bernama nasofaring. Bagi banyak orang, nasofaring hanyalah jalur udara yang tidak perlu terlalu diperhatikan. Namun siapa sangka, di sanalah kanker nasofaring bisa muncul—dan seringnya terlambat disadari.

Kanker nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di area belakang hidung, tepat di atas tenggorokan. Meski tergolong langka secara global, kanker ini cukup banyak ditemukan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Banyak pasien baru menyadari keberadaannya ketika kanker sudah masuk stadium lanjut, karena gejala awalnya sangat mirip dengan infeksi saluran pernapasan biasa.

Contohnya, Bayu, seorang pria berusia 33 tahun asal Bandung, awalnya hanya mengeluh telinga berdengung dan sering pilek sebelah. Ia mengira hanya alergi musiman. Tapi seiring waktu, ia merasa ada benjolan di leher yang tak kunjung hilang. Ketika diperiksa lebih lanjut, barulah dokter menyatakan: kanker nasofaring stadium 3.

Kanker ini bukan hanya soal pertumbuhan sel abnormal, tapi juga perihal keterlambatan diagnosis. Lokasinya yang tersembunyi membuatnya sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan biasa. Banyak orang tak sadar bahwa gejala seperti mimisan berulang atau telinga berdenging bisa jadi sinyal bahaya yang serius.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan dan berbagai rumah sakit rujukan kanker, kasus kanker nasofaring di Indonesia berada dalam 5 besar jenis kanker terbanyak pada pria. Penyebabnya kompleks, dari faktor genetik, lingkungan, hingga virus Epstein-Barr (EBV) yang diyakini sangat erat kaitannya.

Gejala yang Sering Dianggap Sepele, Tapi Sebenarnya Alarm Bahaya

Kanker Nasofaring

Salah satu tantangan utama dari kanker nasofaring adalah gejalanya yang tidak khas. Pada tahap awal, penderita mungkin hanya mengalami gejala ringan yang sangat umum, seperti pilek, sakit tenggorokan, atau hidung tersumbat. Akibatnya, gejala ini kerap diabaikan atau salah diagnosis sebagai flu atau alergi biasa.

Beberapa gejala awal kanker nasofaring yang perlu diwaspadai:

  • Telinga berdengung (tinnitus) atau terasa penuh

  • Hidung tersumbat atau pilek kronis, terutama sebelah

  • Mimisan berulang

  • Benjolan di leher (limfadenopati)

  • Sakit kepala yang terus-menerus

  • Gangguan penglihatan atau pendengaran sepihak

  • Rasa kebas pada wajah

Gejala-gejala ini bisa berkembang perlahan atau tiba-tiba memburuk. Bayangkan seseorang yang rutin beraktivitas di pabrik atau jalanan padat, lalu tiba-tiba merasakan pendengarannya seperti teredam sebelah. Ia mungkin berpikir ini efek polusi atau kebisingan. Namun jika berlangsung lebih dari dua minggu, perlu dicurigai ada hal serius yang terjadi.

Menurut ahli onkologi di RS Dharmais, salah satu kesalahan umum adalah pasien datang terlalu lama setelah gejala muncul. Kebanyakan sudah masuk stadium 3 atau 4, di mana kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening atau bagian tubuh lain. Penanganan pun jadi lebih rumit dan peluang sembuh menurun.

Gejala pada anak-anak dan remaja bisa berbeda lagi. Beberapa anak mengalami kesulitan membuka rahang, berat badan menurun, atau tampak lemas tanpa sebab jelas. Penting bagi orang tua dan tenaga kesehatan untuk tidak langsung menganggap itu hanya efek kelelahan biasa.

Penyebab dan Faktor Risiko Kanker Nasofaring

Tak seperti kanker paru-paru yang erat kaitannya dengan rokok, atau kanker serviks yang bisa dicegah dengan vaksin HPV, kanker nasofaring punya karakteristik penyebab yang lebih tersembunyi. Salah satu faktor utama yang dituding kuat adalah infeksi virus Epstein-Barr (EBV).

Virus EBV adalah virus yang sama dengan penyebab mononukleosis infeksiosa, atau lebih dikenal sebagai “penyakit ciuman.” Di negara tropis seperti Indonesia, infeksi EBV sering terjadi sejak anak-anak, namun efeknya bisa muncul bertahun-tahun kemudian. Virus ini menetap diam dalam tubuh dan bisa memicu pertumbuhan sel abnormal di nasofaring.

Selain EBV, beberapa faktor risiko lain yang teridentifikasi antara lain:

  1. Faktor Genetik: Riwayat keluarga dengan kanker nasofaring meningkatkan risiko. Gen tertentu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap efek buruk EBV.

  2. Konsumsi Makanan Tertentu: Makanan yang diasinkan atau diawetkan dengan nitrosamin (seperti ikan asin, daging asap) bisa meningkatkan risiko. Makanan ini umum dikonsumsi di beberapa wilayah Asia.

  3. Paparan Lingkungan: Debu kayu, asap industri, dan polusi udara dapat merusak sel-sel mukosa nasofaring dalam jangka panjang.

  4. Gaya Hidup: Meski bukan penyebab langsung, merokok dan konsumsi alkohol berlebihan bisa mempercepat kerusakan jaringan dan mempermudah virus berkembang.

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh tim Fakultas Kedokteran di Yogyakarta, ditemukan bahwa pria yang tinggal di daerah urban dengan paparan polusi tinggi memiliki risiko dua kali lipat lebih besar dibandingkan pria dari daerah pegunungan. Ini memperkuat asumsi bahwa lingkungan memang berperan dalam pencetus kanker ini.

Cara Diagnosis dan Tahapan Penanganan Kanker Nasofaring

Diagnosis kanker nasofaring tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat gejala. Butuh serangkaian pemeriksaan penunjang untuk mendapatkan kepastian. Pemeriksaan awal biasanya berupa endoskopi nasofaring, yaitu memasukkan alat kamera kecil ke dalam hidung untuk melihat bagian dalam nasofaring.

Setelah itu, dokter mungkin akan melakukan biopsi, yaitu mengambil sampel jaringan untuk diperiksa di laboratorium. Jika hasilnya menunjukkan keganasan, maka langkah berikutnya adalah menentukan stadium kanker, apakah masih lokal atau sudah menyebar.

Penentuan stadium dilakukan lewat pemeriksaan pencitraan seperti:

  • CT Scan

  • MRI

  • PET Scan

  • Pemeriksaan darah termasuk antibodi terhadap EBV

Penanganan kanker nasofaring umumnya dilakukan lewat terapi radiasi (radioterapi) yang ditargetkan ke area tumor. Ini karena lokasi nasofaring cukup sulit dijangkau lewat operasi. Dalam beberapa kasus, radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi (kemoradiasi) untuk hasil yang lebih maksimal.

Cerita nyata:
Seorang pasien bernama Lusi dari Surabaya harus menjalani 35 kali sesi radioterapi dalam kurun waktu 2 bulan. Di awal, ia sempat merasa mulut kering dan sulit menelan, tapi dengan dukungan keluarga dan terapi nutrisi, ia bisa kembali pulih perlahan. Kini, sudah 3 tahun sejak pengobatannya, dan ia aktif menjadi relawan pendamping pasien kanker lainnya.

Namun, tentu tidak semua perjalanan semudah itu. Efek samping dari terapi bisa meliputi kelelahan ekstrem, luka di mulut, bahkan kerusakan pada kelenjar ludah. Oleh karena itu, pendampingan medis, psikologis, dan dukungan keluarga menjadi kunci keberhasilan terapi.

Pencegahan, Peran Edukasi, dan Harapan ke Depan

Meski kanker nasofaring belum bisa dicegah secara total, ada langkah-langkah penting yang bisa diambil untuk menurunkan risiko dan mendeteksinya lebih awal. Salah satunya adalah edukasi masyarakat secara masif tentang gejala awal dan faktor risiko.

Kampanye publik perlu menekankan bahwa mimisan berulang, telinga berdenging, atau benjolan leher bukan hanya masalah biasa. Pemeriksaan rutin, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat keluarga kanker, sangat dianjurkan.

Selain itu, pola makan sehat, menghindari makanan yang diasinkan atau diawetkan secara berlebihan, serta menjaga lingkungan dari polusi bisa memberikan perlindungan tambahan.

Langkah-langkah pencegahan yang bisa dilakukan:

  • Menghindari konsumsi makanan berpengawet nitrosamin

  • Menjaga kebersihan lingkungan dari paparan asap industri

  • Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, terutama jika ada gejala mencurigakan

  • Menghindari rokok dan alkohol

  • Edukasi anak sejak dini soal pentingnya menjaga saluran pernapasan

Beberapa daerah di Indonesia mulai menggencarkan skrining massal menggunakan tes antibodi terhadap EBV, terutama di daerah endemik seperti Kalimantan dan Sumatera Utara. Hal ini diharapkan bisa membantu deteksi dini sebelum kanker berkembang.

Kanker nasofaring mungkin tersembunyi, namun bukan tak terkalahkan. Dengan informasi yang tepat, deteksi yang cepat, dan dukungan yang kuat, pasien memiliki peluang besar untuk pulih dan hidup normal kembali.

Penutup:

Kanker nasofaring memang sering tak disadari, namun bukan berarti tak bisa dilawan. Semakin banyak masyarakat yang tahu dan peka terhadap gejala awal, semakin besar peluang pasien untuk mendapatkan penanganan tepat di waktu yang tepat. Di balik suara serak dan pilek sebelah, bisa jadi ada alarm bahaya. Jangan abaikan, dan mulailah peduli sejak sekarang.

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan

Baca Juga Artikel dari: Infeksi Impetigo: Kenali Gejala, Penyebab, dan Cara Mengobatinya

Kunjungi Website Resmi: nanastoto

Author

Related Posts