JAKARTA, incahospital.co.id – Ada satu penyakit yang sering diselimuti ketakutan dan salah persepsi sejak berabad-abad lalu—kusta. Dalam dunia medis, penyakit ini dikenal sebagai Kusta Hansen, diambil dari nama ilmuwan Norwegia Gerhard Armauer Hansen yang pertama kali menemukan bakteri penyebabnya pada tahun 1873. Meskipun dunia kedokteran sudah berkembang pesat, bayangan stigma sosial terhadap penderita kusta masih terasa sampai sekarang.
Bayangkan seseorang yang perlahan kehilangan sensasi di ujung jarinya, kulitnya menebal, dan kemudian menghadapi pandangan asing penuh rasa takut dari lingkungan sekitar. Bukan hanya fisik yang diuji, tapi juga mental dan sosial. Dalam banyak kasus, penderita kusta bukan hanya berjuang melawan penyakit, melainkan juga melawan kesepian yang diciptakan stigma.
Padahal, secara medis, Kusta Hansen dapat disembuhkan sepenuhnya jika ditangani sejak dini. Dunia kesehatan sudah menyediakan terapi kombinasi obat atau MDT (Multi Drug Therapy) yang terbukti efektif. Namun, masih banyak masyarakat yang mengira kusta adalah kutukan, penyakit turunan, atau bahkan tidak bisa disembuhkan. Persepsi ini yang akhirnya membuat banyak penderita enggan mencari pengobatan dini.
Asal-Usul dan Fakta Medis Kusta Hansen

Kusta Hansen disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, sejenis bakteri yang tumbuh lambat dan menyerang saraf tepi, kulit, serta jaringan tubuh lainnya. Menariknya, bakteri ini memiliki masa inkubasi yang sangat panjang—bisa mencapai 5 hingga 20 tahun sebelum menunjukkan gejala nyata. Itulah sebabnya penyakit ini sering sulit dideteksi pada tahap awal.
Secara umum, Kusta Hansen dibagi menjadi dua jenis utama:
Kusta Pausibasiler (PB) yang tergolong ringan, dan Kusta Multibasiler (MB) yang lebih berat karena melibatkan banyak lesi kulit dan saraf.
Pada kasus PB, lesi biasanya sedikit, sedangkan pada MB, ruam bisa menyebar luas dan menyebabkan kehilangan sensasi pada beberapa bagian tubuh.
Salah satu ciri khas dari kusta adalah hilangnya rasa pada kulit, terutama di tangan dan kaki. Hal ini menyebabkan penderita tidak menyadari luka kecil yang akhirnya dapat berubah menjadi infeksi serius. Jika tidak diobati, kerusakan saraf bisa permanen dan menyebabkan kecacatan.
Namun, semua itu bisa dicegah. Seorang dokter di Makassar pernah menceritakan kisah pasiennya yang datang terlambat berobat karena takut dicap “penyakit kutukan”. Setelah menjalani pengobatan rutin selama setahun, pasien tersebut sembuh total dan kini aktif menjadi relawan untuk edukasi masyarakat tentang kusta. Kisah seperti ini adalah bukti nyata bahwa penyembuhan bukan hanya mungkin, tapi nyata.
Perjalanan Panjang Pengobatan Kusta Hansen
Sejak abad ke-19, pengobatan kusta telah melalui berbagai fase. Dahulu, penderita kusta diisolasi dari masyarakat karena dianggap menular dan berbahaya. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, dunia medis menemukan bahwa kusta tidak mudah menular. Penularannya terjadi melalui percikan droplet dari saluran pernapasan, dan bahkan itu memerlukan kontak intensif dalam waktu lama.
Pada tahun 1981, WHO memperkenalkan Multi Drug Therapy (MDT) sebagai standar pengobatan global untuk kusta. Kombinasi obat ini terdiri dari rifampisin, dapson, dan klofazimin. Terapi tersebut sangat efektif hingga kini dan diberikan secara gratis di banyak negara, termasuk Indonesia.
Pengobatan kusta biasanya berlangsung antara 6 hingga 12 bulan tergantung tingkat keparahannya.
Satu hal yang sering diabaikan adalah dampak psikologis pasien. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan, ditinggalkan keluarga, atau dikucilkan dari lingkungan sosial. Karena itu, penyembuhan total harus mencakup aspek medis dan sosial. Program rehabilitasi dan pemberdayaan menjadi langkah penting agar penderita bisa kembali hidup mandiri dan percaya diri.
Pemerintah Indonesia pun memiliki berbagai inisiatif untuk menurunkan angka kasus baru dan menghapus stigma. Salah satunya adalah kampanye “Indonesia Bebas Kusta”, yang menargetkan penemuan kasus secara dini dan pengobatan tuntas di seluruh wilayah.
Menyingkap Stigma Sosial yang Masih Melekat
Meski dunia medis sudah jauh lebih maju, stigma terhadap penderita Kusta Hansen masih menjadi tantangan besar. Banyak masyarakat yang masih menghindari kontak dengan penderita kusta, bahkan setelah mereka dinyatakan sembuh.
Padahal, begitu pengobatan dimulai, risiko penularan menjadi sangat rendah.
Dalam wawancara fiktif dengan seorang mantan penderita kusta bernama Rini, ia bercerita tentang masa-masa kelam di mana ia diusir dari sekolah setelah guru dan teman-temannya tahu kondisinya. “Waktu itu aku belum tahu apa-apa. Mereka pikir aku akan menulari mereka hanya dengan bersentuhan,” katanya.
Kini, setelah sembuh total, Rini aktif mengajar anak-anak di desanya dan menjadi suara bagi mereka yang mengalami hal serupa.
Stigma seperti ini berakar dari ketidaktahuan dan kurangnya edukasi. Ketika masyarakat memahami bahwa kusta bisa disembuhkan dan tidak mudah menular, maka pintu empati akan terbuka lebih lebar.
Media, tenaga kesehatan, dan lembaga sosial berperan penting dalam mengubah narasi dari ketakutan menjadi pemahaman.
Langkah Menuju Indonesia Bebas Kusta Hansen
Indonesia termasuk dalam negara dengan beban kusta tertinggi di dunia, bersama India dan Brasil. Namun, bukan berarti harapan itu pupus. Setiap tahun, semakin banyak penderita yang berhasil sembuh dan kembali produktif.
Kunci utama keberhasilan adalah deteksi dini, pengobatan konsisten, dan dukungan sosial.
Langkah-langkah yang terus digalakkan antara lain:
-
Edukasi publik tentang gejala awal kusta, seperti bercak kulit mati rasa.
-
Pelatihan bagi petugas kesehatan untuk deteksi dini di puskesmas.
-
Program rehabilitasi sosial bagi pasien pasca pengobatan.
-
Pemberdayaan ekonomi untuk mantan penderita agar bisa hidup mandiri.
Beberapa organisasi juga mulai menggunakan pendekatan digital—melalui media sosial dan konten kreatif—untuk mengedukasi masyarakat muda.
Pendekatan ini efektif karena generasi muda lebih terbuka terhadap informasi dan bisa menjadi agen perubahan dalam menyebarkan empati.
Harapan dan Kesadaran Baru
Jika kita melihat perjalanan panjang penanganan Kusta Hansen, satu hal yang jelas: penyakit ini bukan lagi vonis seumur hidup. Ilmu pengetahuan telah memberikan jalan untuk penyembuhan, sementara empati manusia membuka jalan menuju penerimaan.
Namun, perjuangan belum berakhir. Masih banyak orang yang perlu diyakinkan bahwa kusta bukan aib, melainkan penyakit yang bisa diobati seperti halnya penyakit lainnya.
Perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil—mau mendengar, memahami, dan tidak menghakimi.
Dalam konteks masyarakat modern yang semakin teredukasi, sudah saatnya kita menanggalkan ketakutan lama dan menggantinya dengan kepedulian. Karena sesungguhnya, melawan kusta bukan hanya soal mengobati tubuh, tapi juga menyembuhkan cara pandang.
Temukan Informasi Lengkapnya Tentang: Kesehatan
Baca Juga Artikel Berikut: Leptospirosis Tikus: Waspada Penyakit yang Sering Terabaikan
