0 Comments

Jakarta, incahospital.co.id – Namanya Rani (bukan nama sebenarnya, tentu saja), seorang eksekutif muda berusia 28 tahun. Di kantor, ia dikenal sebagai pribadi yang perfeksionis, selalu bekerja ekstra keras, dan rasanya tidak pernah terlihat lelah. Tapi siapa sangka, di balik senyum sempurnanya itu, Rani menyimpan rahasia yang tubuhnya sendiri mulai ungkapkan secara perlahan.

Mulanya sederhana. Sering migrain yang datang tiba-tiba di jam kerja padahal sudah tidur cukup. Dokter bilang, “Ah, itu hanya kelelahan biasa, coba kurangi stresnya ya Mbak Rani!” Tapi stres yang mana? Rani tidak merasa stres. Ia senang bekerja, setidaknya itulah yang selalu ia katakan.

Seiring waktu, bukan hanya migrain. Rani mulai mengalami nyeri di perut tanpa alasan jelas, detak jantung cepat tanpa olahraga, hingga sesak napas tiba-tiba. Berbagai tes medis dilakukan, hasilnya selalu sama: tidak ada masalah fisik. Akhirnya dokter mengatakan istilah yang pertama kali membuatnya bingung sekaligus penasaran: gejala psikosomatis.

Kisah Rani bisa jadi bukan sekadar kisah fiksi. Di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, kasus semacam ini semakin sering ditemukan, terutama di kalangan milenial yang hidup dalam tekanan sosial, pekerjaan, hingga relasi yang kompleks. Pertanyaannya: Apakah kamu juga mengalami ini?

Gejala Psikosomatis: Ketika Tubuhmu “Marah” Tanpa Sebab Jelas

Gejala Psikosomatis

Psikosomatis berasal dari dua kata Yunani, psyche (pikiran) dan soma (tubuh). Secara sederhana, ini adalah gangguan fisik yang sebenarnya disebabkan atau diperburuk oleh faktor mental seperti kecemasan, stres, atau depresi.

Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru menuduh temanmu “lebay” atau mengatakan ini hanya sekadar “drama”. Gejala psikosomatis sungguh nyata, dan seringkali membuat penderitanya frustrasi karena sulit mendapat diagnosis yang tepat.

Apa saja gejala yang sering muncul?

  • Sakit kepala atau migrain kronis. Kalau sudah minum paracetamol tiap hari tapi sakitnya nggak kunjung hilang, coba pertimbangkan aspek emosionalmu.

  • Gangguan pencernaan. Perut mual, nyeri lambung, diare, atau konstipasi berkepanjangan tanpa ada masalah makanan spesifik.

  • Gangguan pernapasan dan dada sesak. Kadang terasa seperti mau kena serangan jantung, padahal setelah cek EKG, hasilnya baik-baik saja.

  • Kulit bermasalah secara tiba-tiba. Jerawat yang muncul tanpa sebab jelas, eksim yang membandel, bahkan ruam kulit.

  • Kelelahan ekstrim meski istirahat cukup. Ini bukan malas ya, tapi lelah fisik yang nyata dan mengganggu aktivitas harian.

Di titik ini, kamu mungkin bertanya, “Apakah ini artinya aku mengalami gangguan mental yang serius?” Jawabannya belum tentu. Tapi memang, tubuhmu sedang mengirimkan pesan yang layak didengarkan.

“Aku Baik-Baik Saja”: Perangkap Penyangkalan dan Stigma Sosial

Di Indonesia, terutama bagi generasi muda, bicara soal penyakit mental masih tabu, meski kini perlahan mulai terbuka. Orang sering takut dianggap lemah atau manja, terutama kalau gejala fisik mereka tidak bisa dibuktikan secara medis.

Sebuah survei dari lembaga kesehatan nasional pernah menyebut bahwa sekitar 30% pasien yang datang ke rumah sakit dengan keluhan fisik sebenarnya menderita gangguan psikosomatis. Sayangnya, mereka sering tidak sadar bahwa masalahnya berasal dari pikiran, bukan tubuh.

Ada juga cerita lucu (meski sedikit miris), seorang pemuda milenial, sebut saja namanya Aldi. Dia pergi ke lima dokter yang berbeda karena terus mengalami sesak napas. Setelah tes paru-paru berkali-kali, akhirnya dokter kelima bertanya santai, “Mas Aldi, akhir-akhir ini ada tekanan mental ya?” Ternyata Aldi sedang mengalami patah hati berat karena ditinggal pacarnya menikah dengan orang lain. Kedengarannya klise, tapi bagi tubuh Aldi, itu nyata dan menyakitkan.

Stigma sosial memang membuat orang seperti Aldi enggan mengaku ada yang salah dengan emosinya. Akibatnya, gejala fisik makin parah, sementara solusi tak kunjung datang.

Mengapa Tubuh Bisa Sampai “Memendam Rahasia”?

Psikosomatis terjadi karena hubungan erat antara pikiran dan tubuh, yang dalam istilah medis dikenal dengan istilah neuroendokrin. Ketika kamu cemas, takut, atau stres, tubuhmu merespons dengan melepas hormon seperti adrenalin dan kortisol dalam jumlah tinggi. Jika ini terus berulang tanpa henti, tubuh mulai lelah dan menunjukkan tanda-tanda yang menyerupai penyakit fisik.

Kalau kamu seorang milenial atau Gen Z yang tinggal di kota besar, mungkin kamu sudah paham betul bagaimana hidup dalam tekanan konstan: kerja, deadline, target hidup, atau sekadar ingin tampil baik di media sosial. Semua tekanan itu diam-diam memicu respon biologis yang, lama-lama, meledak jadi gejala fisik.

Ingat: tubuh selalu jujur, bahkan saat mulutmu berkata “Aku baik-baik saja.”

Mengatasi Gejala Psikosomatis: Bukan Hanya tentang Obat

Lalu, bagaimana cara menangani ini semua? Kabar baiknya, psikosomatis sangat bisa ditangani.

Pertama-tama, kenali dulu bahwa masalah ini nyata. Kamu tidak mengada-ada. Setelah menerima bahwa ini nyata, langkah berikutnya adalah mencari bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater. Psikoterapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terbukti efektif mengatasi gejala ini.

Selain itu, gaya hidup sehat dan keseimbangan emosional juga penting. Olahraga rutin, meditasi, atau bahkan mindfulness bisa membantumu mengelola stres lebih baik. Sebuah riset dari Harvard juga menunjukkan bahwa orang yang rutin bermeditasi setidaknya 10 menit sehari cenderung punya kondisi fisik dan mental lebih baik.

Jika kamu merasa sendirian, jangan ragu bercerita pada teman dekat, keluarga, atau komunitas pendukung yang kamu percaya. Bercerita adalah langkah awal pemulihan.

Penutup: Tubuhmu Berhak Didengar

Akhirnya, gejala psikosomatis bukan tanda kelemahanmu. Justru ini alarm yang baik agar kamu lebih mengenali diri sendiri. Jangan abaikan tubuhmu yang “bicara”, karena tubuh mungkin tahu apa yang pikiranmu sembunyikan.

Seperti kisah Rani dan Aldi tadi, mungkin ini saatnya kita lebih perhatian pada apa yang sebenarnya dirasakan tubuh. Kamu nggak harus selalu kuat atau sempurna. Tubuhmu berhak mendapat perhatian, dan kamu pun berhak bahagia tanpa harus berpura-pura baik-baik saja.

Bagaimana menurutmu, sudah siap lebih jujur pada diri sendiri?

Baca Juga Artikel dari: Hipertiroid: Ketika Kelenjar Tiroid Terlalu Aktif Menjalankan Tugasnya

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Kesehatan

Author

Related Posts